Thursday, August 19, 2010

Pe-Er Sekolah



Mungkin pengalaman orang tua lain sama juga dengan saya. Tiap kali diminta membantu putra-putri kita mengerjakan pe-er sekolahnya, kita segera disadarkan betapa zaman telah berlalu dengan kencang. Dan kita merasa ‘ketinggalan kereta’ berdepa-depa. Tersadar bahwa waktu ternyata bergerak layaknya bepergian dengan one way ticket. Tak ada jalan kembali….

Misalnya, kejadian di rumah kami tiga minggu lalu. Putri saya yang masih kelas 2 SD itu begitu ngototnya mengajak saya membuka-buka buku latihan Bahasa Indonesia-nya. Sampai ia tak sabar menanti saya meletakkan ransel dan berganti pakaian sepulang kerja. Saya berpikir, apa gerangan yang membuat dia desperate begitu. Rupanya ia punya pe-er yang gawat. Yang menurutnya hanya saya yang bisa membantunya. Ibunya, yang lebih ia andalkan dalam membuat kue dan sedikit-sedikit Bahasa Inggris, sudah menyerah karena kehabisan akal. Nah, menurut putri saya itu, saya yang wartawan, suka nulis dan baca-baca, pasti lah bisa mengerjakan pe-ernya itu.

“Apa sih pe-ernya?” tanya saya.

“Mengarang pantun.”

“Hah? Kelas 2 SD disuruh mengarang pantun?” Saya agak shock.

“Kata Bu Guru sih, sebaiknya bikin pantun sendiri. Tapi kalau tidak bisa, boleh cari pantun darimana saja. Pokoknya besok harus sudah ditulis di buku latihan ini, dan diberikan kepada Bu Guru.”

Wah, ‘hebat’ betul sekolah putri saya ini, kata saya dalam hati dengan nada ngedumel. Baru kelas 2 SD saja sudah diajari mencipta dan meriset pantun. Padahal, seingat saya dulu, baru di kelas 5 SD saya diajari apa itu pantun. Apa artinya sampiran dan apa artinya isi. Itu pun kami tak disuruh menciptakan pantun. Cukup menghafal pantun-pantun yang sudah ada. Selanjutnya diminta menunjukkan persamaan dan perbedaan bentuk antara satu pantun dengan yang lainnya.

Malam itu putri saya dan saya selama lebih dari satu jam (diselingi mengunyah emping satu stoples besar dan melupakan risiko terkena asam urat) memutar otak. Mencoba-coba membentuk pantun yang kira-kira enak didengar dan ada pesannya. Sebagaimana kita tahu, di SD dulu kita memang diajarkan bahwa pantun itu terdiri dari sampiran dan isi. Sampiran (pada dua baris pertama) lazimnya adalah penciptaan sugesti bunyi pada baris kedua. Tiap baris dari sajak itu umumnya terdiri atas dua atau tiga suku kata dengan bentuk sajak bersilang.

Mulanya kami mencoba cara yang populer dewasa ini yang rada main-main. Yakni dengan menekankan kata kedondong pada baris sampiran, sehingga di baris isi, kita dengan mudah pula menambahkan kata Dong. Ini adalah cara yang populer saya baca di situs-situs pantun lucu-lucu.

buah kedondong

Maka, tercipta lah beberapa pantun, semisal:

Di kebun kami
banyak kedondong
Kalau memberi
jangan basa-basi dong


Atau,

Kalau ke kota
beli kedondong
Malu bertanya
nyasar dong


Atau

Bikin rujak
pakai kedondong
ingin sehat
olah raga dong


Masih banyak lagi pantun yang kami ciptakan dengan memakai kata kedondong dan dengan pesan yang diakhiri kata Dong. Tapi putri saya kelihatannya kurang sreg. Saya juga begitu. Menurut putri saya, pantun yang ia inginkan adalah pantun yang serius. Bukan asal jadi apalagi bernada canda. Saya juga setuju, tapi bagaimana lagi saya harus memutar otak? Emping di dalam stoples sudah hampir habis pula.

“Dulu sewaktu Papa belajar pantun di sekolah, emang diajarin apa?.” Putri saya bertanya setengah menghardik.

“Cuma disuruh membaca beberapa pantun. Menghafalnya, kalau bisa.”

“Gimana, misalnya? Pantun mana yang pernah Papa hafal….” Putri saya itu rupanya penasaran.

Saya agak bingung mengingat-ingat. Tapi kemudian cara yang paling mudah saya temukan juga. Yakni menyanyikan syair lagu yang ada pantunnya. Dan saya pun mengutip sebait lagu Gelang Sipatu Gelang yang sangat populer di kampung kami.

Kalau ada jarum yang patah
Jangan simpan di dalam peti
Kalau ada kata yang salah
Jangan simpan di dalam hati
.

Begitu saya selesai mengucapkan pantun itu, saya kaget melihat putri saya berjingkrak dengan wajah sumringah. Rupanya baru kali itu ia mendengar pantun begitu dan ia terkesan. “Nah, gitu dong,” ia berteriak kencang. “Pantunnya bagus banget Pa. Pantun begitu yang saya mau. Ada artinya. Kata-katanya juga serius,” kata dia. Sambil berkata demikian ia menuding-nudingkan pinsilnya ke arah saya, persis seperti Bu Guru mengindoktrinasi muridnya. Ah, anak-anak zaman sekarang….

“Aku tahu arti pantun itu. Maksudnya, kan, kalau Papa misalnya marah, jangan lama-lama, gitu kan? Kalau nggak suka sama ucapan orang, nggak usah diingat-ingat, gitu kan? Pantun begini yang Bu Guru maksud. Pantun yang ada artinya,” kata putri saya lagi.

Singkat cerita, ia kemudian menyalin pantun itu ke dalam buku latihannya. Menurut dia, pantun itu pasti sudah akan memenuhi syarat yang dibuat oleh Bu Guru. Saya pun lega. Senang karena sudah bisa membantunya hanya bermodalkan sepotong pantun dari masa kecil.

Namun sambil saya mengamati dia menuliskan pantun itu ke dalam bukunya, ada yang mengganggu dalam pikiran saya. Saya bertanya dalam hati mengapa anak sekecil itu sudah dapat merasa begitu pentingnya ‘pantun yang serius.’ Bukan pantun sembarang pantun yang diciptakan asal-asalan. Bukan UMPASA ROMBENGAN, yang dalam bahasa Batak Toba itu berarti pantun rombengan, yakni pantun tambal sulam sekadar untuk menyenang-nyenangkan pendengaran….

Kok pantun dirombeng-rombeng sih?

***
Orang Batak memang tak bisa dipisahkan dari pantun atau UMPASA. Dalam budaya Batak, entah itu Batak Toba, Simalungun, Pakpak, Karo dan lainnya, UMPASA adalah alat penting berkomunikasi pada ritual adat. Semisal dalam upacara pernikahan, atau upacara penghormatan bagi yang meninggal, bahkan dalam hajatan-hajatan lebih kecil, semisal memasuki rumah baru, syukuran baptisan anak dan sebagainya. Dalam mengemukakan pertanyaan, pendapat atau nasihat, para pemimpin adat biasanya membungkus perkataannya dengan UMPASA. Dugaan saya, selain dengan maksud agar penyampaian kalimat lebih halus dan elegan, tidak menyinggung siapa pun, juga agar para pesan lewat pantun itu lebih meresap kepada para pendengar, terutama kepada orang yang jadi sasaran nasihat atau pesan tersebut.

Sebagaimana umumnya pantun (dengan pengecualian pada beberapa saja) UMPASA terdiri dari dua baris sampiran dan dua baris isi. Kala diucapkan, UMPASA tersebut lazimnya akan diaminkan oleh keseluruhan hadirin dengan mengatakan, (dalam bahasa Batak Toba) Emma Tutu atau (dalam bahasa Batak Simalungun) Ai ma tongon. Artinya ‘Begitulah kiranya’ atau ‘Semoga begitu’ atau ‘begitu lah hendaknya.’

Sebetulnya ada satu jenis lagi yang bisa dimiripkan dengan pantun dalam tradisi Batak. Ia disebut UMPAMA. Bedanya UMPAMA lebih condong bersifat sebagai pepatah atau peribahasa. Ia merupakan kiasan untuk mengatakan sesuatu. Dalam bahasa Batak Toba disebut tudosan, orang Batak Simalungun menyebutnya usihan. UMPAMA ketika diucapkan tidak diiringi dengan kata-kata mengaminkan (Emma tutu atau Aima tongon) dari para pendengarnya.

Agar lebih jelas, perhatikan contoh UMPASA dan UMPAMA berikut ini yang diambil dari Bahasa Batak Toba:

UMPASA :
Eme sitambatua ma/parlinggoman ni siborok (sampiran)
Debata ma na martua/ horas ma hita diparorot (isi)


Terjemahannya:
Padi sitambatua/ tempat pelindungan berudu (sampiran)
Tuhanlah yang maha mulia/ selamat sejahtera kita diayomi (isi)


UMPAMA:
Ndang dao tubis sian bonana
Molo dao, disarut-sarut babi


Terjemahannya:
Tidak (mungkin) jauh rebung dari batangnya
kalau jauh akan diserobot babi.

Kiasannya:
Sifat-sifat atau perilaku seseorang pastilah akan mengikuti apa yang dicontohkan oleh orang tuanya.

Atau lihat lagi contoh dari khasanah bahasa Batak Simalungun:

UMPASA:
Sin Raya Sin Purba/Sin Dolog Sin Panei
Na ija pe lang muba/Asalma par holong atei


Terjemahannya:
Dari Raya, dari Purba/Dari Dolog dari Panei
Siapa pun jangan dibuat berbeda/Sepanjang ia berbaik budi


UMPAMA:
Tatada ma ho ningon/ Durimu pe lang sada
Parana ma ho ningon/ Suruymu pe sada
Doit do duri ni tatada/doitan do homa podah in


Terjemahannya:
Tatada (sejenis kayu berduri) kulitnya berduri/aneh kalau tak ada duri
Kalau engkau disebut jagoan/kenapa bersisir pun engkau tak bisa
Duri tatada menyengat/menyengat pula ‘petuah’ ini

Satu hal lagi yang jadi pembeda UMPASA dan UMPAMA adalah sifat pesan-pesannya. UMPASA biasanya mengandung petuah atau pesan yang baik. Semacam harapan dan doa. Sedangkan UMPAMA bisa dalam dua bentuk, yakni UMPAMA yang bernada positif berupa pengharapan atau keinginan, tetapi bisa juga bernada negatif, berupa sindiran, teguran atau aba-aba supaya jangan sampai terjadi.

Contoh UMPAMA yang bernada positif:
Ingkon sada songon daion aek,
Unang mardua songon daion tuak


Terjemahannya:
Hendaklah (ber)satu seperti rasa air
Jangan bermacam-macam seperti rasa arak


Yang bernada negatif untuk sebaiknya dihindari:

Ijuk di para-para/hotang ni parlabian
Nabisuk nampuna hata, naoto tu panggadisan


Terjemahannya:
Ijuk di para (rak diatas perapian) rotan di parlabian
Yang bijak akan memerintah, yang bodoh akan jadi budak


***
Syahdan, tiga tahun lalu, majalah Bona Ni Pasa memuat sebuah tulisan kritis terhadap fenomena penggunaan UMPASA di masyarkat Batak. Majalah budaya Batak populer itu melansirnya dengan judul: Stop Umpasa-umpasa Rombengan Itu. Tulisan ini menggambarkan adanya gejala-gejala yang kurang baik dalam menggunakan UMPASA, yakni dengan mengobral UMPASA rombengan di berbagai hajatan adat. Disinyalir, dalam berbagai hajatan, para pemuka adat makin latah menggunakan UMPASA rombengan, yakni UMPASA yang diciptakan sendiri dengan hanya menonjolkan keindahan bunyi tanpa memperhatikan keterkaitan makna dengan konteks yang sedang dibicarakan.

Saya sendiri tak membaca langsung ulasan majalah itu. Saya mendapatkan informasi itu dua hari lalu, dari sebuah website bernama www.parnangkoan.com. Dan, terus terang saya terkesan dengan ulasan itu. Seperti diingatkan dan dilemparkan pada sebuah kejadian delapan tahun lalu di kampung halaman saya, Sarimatondang. Ketika itu saya benar-benar tak bisa membantah ayah saya di saat kami berbincang tentang UMPASA.

Sebetulnya, sebagai putra sulung yang tak mau berada dibawah bayang-bayang ayahnya, saya termasuk tipe pemberontak dan ogah tunduk padanya. Tetapi kali ini, argumen-argumennya tak bisa saya bantah. Bukan karena ayah saya begitu pintarnya. Tetapi lebih karena ‘kehijauan’ saya dalam khasanah adat, sehingga apa yang dikemukakannya saya rasakan mencerahkan. Dan saya seolah mendapat pengetahuan baru.

Ayah saya kala itu menjelaskan bahwa salah satu kekayaan budaya orang Batak adalah UMPASA atau UMPAMA. Menurut dia, Walau pantun-pantun itu sekilas hanya berfungsi sebagai pembungkus pesan disamping katalisator dalam berkomunikasi, sesungguhnya UMPASA dan UMPAMA lebih dari itu. Sebab ia yang awalnya hanya beredar secara lisan, karena makna dan nilai yang disampaikannya disamping baik dan hidup di tengah komunitasnya, UMPASA dan UMPAMA menjadi abadi hingga sekarang ini.

Namun, kata ayah saya menggarisbawahi, ada faktor penting lain yang menyebabkan UMPASA dan UMPAMA langgeng, tetapi belakangan sering ditabrak-tabrak. Menurut dia, UMPASA dan UMPAMA dapat bertahan dari waktu ke waktu karena syair-syairnya yang tidak diubah-ubah. UMPASA dan UMPAMA menjadi semacam syair klasik. Walau pun ia hanya dipelihara secara lisan pada masa-masa awal, namun karena ada keteguhan untuk tidak mengubah-ubah syairnya, ia menjadi langgeng. Seolah ada kesan ia adalah sakral, abadi. Dan karena itu lah ia masih bisa dibaca, dipakai dan diamini oleh kita, generasi yang lebih baru.

Sebagaimana seorang anak kepada ayahnya, ketika mendengar penjelasannya ini, saya berusaha ‘pura-pura’ setuju dengan manggut-manggut. Tetapi dalam batin saya meragukannya. Masa’ sih UMPASA dan UMPAMA itu begitu hebatnya sehingga ia tidak boleh diubah, tidak boleh dimodifikasi? Apa sih susahnya membuat pantun? Kan cuma menyusun dua baris sampiran dan dua baris isi yang mengandung persamaan bunyi?

Ayah saya agaknya membaca keraguan dan ‘kebebalan’ saya. Karena itu ia melanjutkan penjelasannya.

Menurut dia, UMPASA dan UMPAMA orang Batak tidak hanya mengandung unsur persamaan bunyi antara sampiran dengan isi. Lebih dari itu, sampiran dan isi mengandung hubungan yang lebih erat. Apa yang terkandung dalam sampiran adalah juga kiasan pada isinya. Hubungan kalimat yang terdapat pada sampiran, harus mengandung persamaan konotatif terhadap isi. Karena itu pula, menurut dia, modifikasi dalam sampiran mau pun isi akan bisa merusak keseluruhan UMPASA.

Saya agak kaget mendengar penjelasan ini. Sebab di berbagai hajatan saya sudah sering mendengar aneka modifikasi terhadap UMPASA.

Ayah saya lantas memberi contoh UMPASA berikut:

Tubu ma hariara/ di holang-holang ni huta
Sai tubuma anakkonmuna/ dongan muna saur matua


Terjemahannya:
Pohon hariara tumbuh/ di perbatasan desa
Semoga Anda dikaruniai keturunan/mendampingi Anda hingga tua


Menurut dia, pemilihan pohon hariara (sejenis pohon yang besar dan tinggi, seperti pohon beringin) dalam sampiran pada UMPASA itu tidak dilakukan sembarangan. Kata hariara dipilih bukan sekadar untuk menghadirkan persamaan sajak dan sugesti bunyi antara sampiran dengan isi. Lebih dari itu, ia merupakan simbol yang mendukung makna pada isi. Sebab, hariara adalah pohon yang kokoh. Tahan terhadap berbagai cuaca dan kuat menghadapi alam yang tidak ramah. Ini menjadi perlambang bagaimana anak-anak diharapkan tumbuh di masa depannya.

Lebih jauh lagi, pohon hariara biasanya memang tumbuh di perbatasan desa. Ia lazimnya jadi pembatas antara satu desa dengan desa lain, namun pada saat yang sama, ia juga menjadi simbol pengawal atau penjaga desa. Bermiripan dengan harapan agar anak-anak kita kelak menjadi ‘pengawal’ kita di saat kita sudah tua renta.

Mendengar penjelasan itu, kali ini saya manggut-manggut tanda mengerti. Saya akhirnya dapat memahami dan mulai mengakui adanya hubungan yang erat antara sampiran dan isi dalam UMPASA. Bukan lagi sekadar penciptaan sugesti bunyi dan irama.

Sayangnya, kata ayah saya menambahkan, kadang-kadang ada orang yang ‘melampiaskan kreatifitasnya dengan memodifikasi UMPASA. Maksudnya mungkin baik, agar pesan yang disampaikannya lebih mengena dan menghasilkan persamaan bunyi yang indah. Namun, menurut ayah saya, tindakan semacam ini lah yang kelak dapat mengganggu kelestarian UMPASA itu. Sebab jika modifikasi-modifikasi semacam itu dibiarkan, suatu hari generasi di masa depan mungkin tak tahu lagi bagaimana bunyi UMPASA asalnya.

Ayah saya mencontohkan UMPASA berikut:

Sahat sahatni solu ma/ sahat tu bottean
Nungnga sahat hita mangolu/sahat ma tu panggabean


Terjemahannya:
Seperti sampan tiba di tujuan/ia mencapai tambatannya
Kita sudah diberi kesempatan hidup/semoga kita mencapai kesejahteraan


Menurut ayah saya, yang juga saya sudah sering dengar, UMPASA ini sering dimodifikasi atau ditambah-tambah. Misalnya dengan bunyi begini:

Sahat sahat ni solu ma/ sahat tu bottean di Tigaras
Nungga sahat hita mangolu/sai sahat ma tu panggabean huhut horas-horas


Dalam umpasa ini ada tambahan kata Tigaras (nama sebuah tempat) pada baris sampiran yang dimaksudkan untuk menghasilkan sugesti bunyi ras pada baris isi, yakni horas-horas.

Ketidaksetujuan ayah saya terhadap modifikasi semacam ini karena menurut dia, ini justru mendangkalkan keseluruhan UMPASA itu. Atau bisa juga cermin dari kedangkalan pemahaman orang yang mengucapkan UMPASA itu. Sebab ayah saya yang masa kecilnya dihabiskan di tepi pantai Danau Toba dan akrab dengan kehidupan nelayan di sana, berpendapat bahwa tambatan terakhir sampan (solu) sudah pastilah di bottean (tambatan). Setiap sampan yang baru mengarungi danau, pada akhirnya akan ditambatkan di bottean sehingga sampan itu bersandar dengan rapih. Sebenarnya bisa saja sampan itu disandarkan di tepi pantai dimana saja. Tetapi kesempurnaan perhentiannya hanya di bottean.

Karena itu, tambah ayah saya, jika UMPASA itu kemudian dimodifikasi dengan menambahkan kata Tigaras, ia menganggap makna yang terkandung dalam UMPASA jadi dangkal. Sebab, sebuah sampan tidak harus berlabuh di bottean di Tigaras. Bottean bisa dimana saja, tergantung pada tujuan sang sampan. Kalau memang tujuannya ke Tigaras, ia memang harus berhenti di bottean di Tigaras. Tetapi jika tidak? Apakah ia harus ditambatkan di bottean Tigaras?

Kejanggalan lain dalam modifikasi UMPASA ini, menurut ayah saya, adalah dalam hal isinya. Dengan modifikasi itu, isi UMPASA tadi jadi berbunyi:

Nungga sahat hita mangolu/sai sahat ma tu panggabean huhut horas-horas

Di sini ada penambahan kata horas kepada kata panggabean. Padahal, dalam kata Panggabean sesungguhnya sudah terkandung kata horas-horas.

Hmm, mungkin agak ribet memahaminya bagi yang tidak bisa berbahasa Toba ya?

Intinya adalah, ayah saya tampaknya ingin menekankan bahwa UMPASA dan UMPAMA dalam adat Batak lebih baik dipertahankan sebagaimana aslinya. Kalau ingin membuat penyegaran, menurut dia, sebaiknya ciptakanlah UMPASA atau UMPAMA yang samasekali baru. Tetapi dengan mendasarkannya pada prinsip yang sudah berlaku sepanjang zaman, yakni sampiran dan isi UMPASA bukan hanya dipertautkan oleh sugesti bunyi dan irama, melainkan juga makna dan metafora.

Memang terdengar agak konservatif. Namun, saya samasekali tidak punya argumen untuk membantahnya. Sebab, dalam hemat saya pun, UMPASA-UMPASA yang sudah tua itu, memang benar-benar mengandung keindahan yang, menurut saya, didasarkan pada pengkajian yang mendalam. Dari khasanah Bahasa Simalungun, misalnya, ada beberapa UMPASA yang menurut saya pastilah didasarkan pada pemikiran yang serius dan hasil dari ketekunan mencari padanan kata yang tepat. Berikut ini salah satunya:

Timbahou ni Simorbou/Ulang magou sanrigat.
Age lingod panonggor/ulang lupa pardingat


Terjemahannya:
Tembakau dari Simorbou/Jangan hilang walau sesobek(sehelai)
Walau tak lagi bisa saling bertemu/jangan pernah melupakan


Dugaan saya tembakau Simorbou adalah tembakau yang baik. Dan karena itu tidak boleh hilang walau pun sehelai (sanrigat). Sama seperti persahabatan atau kekerabatan, yang juga sangat berharga. Dan karena itu jangan hilang, jangan ditiadakan, walau pun sudah tak berdekatan lagi. Pemilihan kata sanrigat, dalam hemat saya, pastilah tidak sembarangan. Sebab, putusnya tali persahabatan memang sering disimbolkan oleh sesuatu yang sobek (marigat).


Begitulah akhir dari kesimpulan perbincangan saya dengan ayah. DAn setelah ia selesai menjelaskan pendiriannya tentang UMPASA, saya tak bisa tidak kecuali manggut-manggut tanda setuju. Seraya berkata dalam hati akan lebih seksama memperhatikan para pemimpin adat dalam melantunkan UMPASA. Akan halnya putri saya dengan pantun 'Kalau ada jarum yang patah'nya, saya tidak tahu bagaimana kabarnya setelah Bu Gurunya membacanya. Mudah-mudahan putri saya kelak, bisa memahami apa arti UMPASA dan bagaimana sebaiknya UMPASA digunakan.

********
Post Scriptum
Saya sudah lupa mendapatkannya darimana. Yang pasti sudah beberapa bulan ini saya sekilas-sekilas membolak-balik sebuah buku berjudul Bunga Rampai Bahasa, Sastra dan Budaya. Buku ini disunting oleh Achadiati Ikram, gurubesar pada fakultas sastra UI, diterbitkan oleh Penerbit Intermasa 1988. Buku ini merupakan sekumpulan tulisan dari para ahli bahasa, dari rentang waktu 1933 hingga 1967. Salah satu tulisan yang menarik dalam buku itu berjudul Latar Belakang Magis pada Pantun Melayu, yang merupakan pidato R.A. Hoesein Djajadiningrat pada Dies Natalis ke 9 Sekolah Tinggi Hukum di Batavia, 28 Oktober 1933.

Dari tulisan itu saya jadi merasa agak ketinggalan zaman. Sebab penyelidikan hubungan antara sampiran dan isi pada pantun telah lama berlangsung. Paling tidak dalam khasanah pantun Melayu.

Dalam hal ini ternyata pada awalnya setidaknya ada dua kubu yang saling kontras. Kubu pertama kita sebut saja kubu idealistis. Yakni yang berpendapat bahwa sampiran pada pantun bukan sekadar penghasil sugesti bunyi pada isi, melainkan juga semacam gambaran, yang sedikit banyaknya terselubung, tentang apa yang akan diutarakannya pada pada isi. Ini, misalnya, bisa dilihat pada Grammar of the Malayan Language karangan William Marsden (1812) dan Gammar and Dictionary of the Malay Language karangan John Crawfurd (1852).

Kubu kedua, yang kita sebut saja kubu pragmatis, beranggapan sebaliknya. Bahwa sampiran pada pantun Melayu kadang-kadang memang menjadi gambaran bagi isinya. Tetapi tidak selalu. Bahkan adakalanya sampiran hanya omong kosong belaka. Ini, misalnya, dikatakan oleh R van Hoevell dalam Syair Bidasari (1843) dan L.K. Harmnsen pada Vijftig Minangkabausche Pantuns (1875).

Perdebatan kedua kubu ini membawa para ahli menelisik lagi lebih dalam. H. Overbeck misalnya (1922) sampai pada kesimpulan bahwa diantara sampiran dan isi pada pantun, pada mulanya memang lebih menekankan asosiasi bunyi barulah kemudian asosiasi pikiran. Namun pada saat yang sama, ia berpendapat bahwa antara sampiran dan isi tidak hanya harus ada asonansi tetapi juga suatu hubungan yang tentu.

No comments:

Post a Comment